Minggu, 16 Oktober 2011

SEJARAH HUKUM ACARA PIDANA INDONESIA

I. Sejarah perkembangan Hukum Acara Pidana di Indonesia


1. Sebelum masa kolonial(sebelum abad 16)                                                           

·        Sebelum masuknya agama Islam;

Pada masa awal, penduduk nusantara tidak membedakan antara hukum acara pidana dan hukum acara perdata. Penduduk nusantara menggunakan hukum adat untuk menyelesaikan masalah pidana maupun perdata di kalangan mereka. Cara pembuktian yang digunakan sering kali menggunakan kekuatan kekuatan gaib.
Bentuk2 sanksi hukum pada masa itu ( dihimpun kemudian dalam  Pandecten van het Adatrecht bagian X)  yakni sbb;
1. penggantian kerugian ”immaterieel” dalam berbagai rupa, misalnya paksaan menikahi gadis yang telah dicemarkan,dsb.
2. Bayaran uang adat kepada orang yang terkena,yang berupa benda sakti sebagai ganti kerugian rohani.
3. Selamatan untuk membersihkan masyarakat dari  kotoran gaib (buang sial, dsb).
4. Penutup malu/permintaan maaf.
5. Rupa2 hukuman badan s/d hukuman mati.
6. Pengasingan dari masyarakat/peletakan orang di luar tata hukum adat (dibuang/tidak dianggap anak,dsb)

·        Setelah masuknya agama Islam;
Setelah masuknya agama Islam, mulailah diberlakukannya hukum Islam, disamping hukum Adat untuk menyelesaikan masalah hukum di antara penduduk. Pada masa ini, mulai diadakan pembedaan antara masalah pidana dan masalah perdata. Cara penyelesaian sengketa seringkali  berpedoman kepada Al Quran, hadits dan hasil ijtihad.



2. Masa kolonial /Penjajahan (abad 16 s/d 17 Agustus 1945)

·        Belanda
Hukum yang berlaku di Indonesia tidak terlepas dari pengaruh Belanda yang datang ke Indonesia di mana mulai diberlakukannya hukum tertulis di Indonesia. Pada zaman VOC diatur mengenai undang2 tanah jawa pada tahun 1747 (javasche wetten), kmudian Daendels dan Raffles meneruskan usaha ini dengan terus mempelajari hukum adat.

·        Prancis
Pada saat Belanda dijajah Perancis, diberlakukanlah hukum Perancis di Belanda yang berdampak pada pemberlakuan hukum tersebut di Indonesia sebagai negara jajahan Belanda.

·        Belanda
Setelah lepas dari jajahan Perancis, dikeluarkanlah firman raja untuk membentuk peraturan perundang-undangan baru yang diberlakukan di Indonesia dengan adanya asas konkordansi. Hukum acara pidana saat itu disebut hukum acara kriminil (HIR dan IR). Maka dibentuklah HIR (Herziene Inland Reglement)  yang diberlakukan di kota-kota besar dan IR (Inlands Reglement) di kota-kota lainnya. Ada pembedaan peradilan bagi kaum Eropa dan golongan Bumi Putera.

·        Jepang
Tidak ada perubahan dalam peraturan perundang-undangan kecuali dalam hal dihapusnya peradilan bagi golongan Eropa (Osamu Serei No:3/1942, 20 september 1942). Diatur bahwa;
Herziene Inlands Reglement berlaku untuk Pengadilan Negeri (tihoo hooin)
Reglement voor de Buitengeswesten berlaku untuk Pengadilan Tinggi (kotoo hooin) dan Landgerechtsreglement berlaku untuk Pengadilan Agung (saiko hooin).


3. Masa kemerdekaan (17 Agustus 1945-sekarang)

·        orde lama
Pada masa ini, peraturan Belanda masih dipakai dengan berlakunya pasal II aturan peralihan UUD 1945, dimana segala badan negara dan peraturan perundangan yang ada masih berlaku selama belum ada yang baru yang diatur menurut Undang-undang. Undang2  yang mengatur acara pidana yaitu  UU No:7/1947 tentang Kuasa Kejaksaan Agung dan Mahkamah Agung.
Zaman RIS dihasilkan beberapa ketentuan sebagai berikut;                         UU  No:1/ 1950 LN 1950 No:30 à dibentuk Mahkamah Agung di Jakarta dan Jogjakarta; menggantikan Hoogerechtshof.
UU No:18/1950 LN 1950 Nomer 27 à landrechter di jakarta diganti menjadi Pengadilan Negeri.
Appleraad di Jakarta diganti menjadi Pengadilan Tinggi.
Dengan UU darurat ini telah diadakan unifikasi hukum acara pidana, yaitu;
-         acara pidana sipil untuk PN dan PT,dan berpedoman pada HIR.
-         acara pidana ringan berlaku Landrechtsreglement Sbld 1914 No:317 jo sbld 1917 No:323.
-         acara untuk banding diatur dalam pasal 7 s/d 20 UU darurat No:1/1951.


·        orde baru
Dalam sejarahnya,HIR buatan Belanda tidak memenuhi rasa keadilan bagi masyarakat Indonesia maka mulai diadakanlah perancangan Hukum Acara Pidana yang baru.



II. Sejarah pembentukan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana Indonesia


Pada masa orde baru, terbukalah kesempatan untuk membuat peraturan perundang-undangan. Oleh sebab itu, dibentuklah di departemen kehakiman suatu panitia untuk menyusun RUU Hukum Acara Pidana. Ada 13 pokok masalah yang dituangkan dalam materi undang-undang. Dalam perancangannya, hukum acara pidana Indonesia didasarkan pada HIR.
Awalnya dibentuk panitia yang diketuai Oemar Seno Adji;1968 yang berhasil menyusun Rencana UU Hukum Acara Pidana. Kemudian disempurnakan oleh Mochtar Kusumaatmadja yang menggantikan Oemar Seno adjie menjadi menteri kehakiman,1974. Lalu diteruskan oleh Moedjono.
Tim Sinkronisasi kemudian menelorkan RUU KUHAP yang disetujui sidang gabungan tim bersama-sama dengan DPR di gedung DPR Pusat pada tanggal 9 september 1981.


Hal-hal signifikan yang perlu diperhatikan dalam RUU KUHAP tahap akhir, ialah:
-hilangnya kewenangan Kejaksaan (seperti yang tercantum dalam HIR) untuk menyidik.
-diadakannya perubahan KUHAP dalam kurun waktu dua tahun setelah pengesahan KUHAP (pasal 284 ayat (2)).


RUU KUHAP disahkan oleh sidang paripurna DPR pada tanggal 23 September 1981, dan kemudian disahkan oleh presiden menjadi undang-undang pada tanggal 31 Desember 1981. Sejak saat itulah kita memakai Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana  (Undang-undang No:8/1981,LN 1981 Nomor 76,TLN Nomor 3209) sebagai pedoman yang mengatur acara peradilan pidana.

















Daftar Pustaka:
Hamzah, Andy. 2005. Hukum Acara Pidana Indonesia. Jakarta: Sinar Grafika.
Harahap, Yahya. 2004. Pembahasan Permasalah dan Penerapan KUHAP: Penyidikan dan Penuntutan. Jakarta: Sinar Grafika.
Prinst, Darwin. 1989. Hukum Acara Pidana: Suatu Pengantar. Jakarta: Djambatan.
Prodjodikoro, Wiryono. 1985. Hukum Acara Pidana di Indonesia. Jakarta: Sumur Bandung.

Rabu, 28 September 2011

TATA CARA BERPERKARA PADA BADAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA




BAB I
PENDAHULUAN
1.1    LATAR BELAKANG
Peradilan Tata Usaha Negara merupakan salah satu peradilan di Indonesia yang berwenang untuk menangani sengketa Tata Usaha Negara. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN), Peradilan Tata Usaha Negara diadakan untuk menghadapi kemungkinan timbulnya perbenturan kepentingan, perselisihan, atau sengketa antara Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dengan warga masyarakat. UU PTUN memberikan 2 macam cara penyelesaian sengketa TUN yakni upaya administrasi yang penyelesaiannya masih dalam lingkungan administrasi pemerintahan sendiri serta melalui gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN).
Dalam PTUN, seseorang dapat mengajukan gugatan terhadap kebijakan pemerintah yang dipercaya telah merugikan individu dan atau masyarakat. Subjek atau pihak-pihak yang berperkara di Pengadilan Tata Usaha Negara ada 2 yakni, Pihak penggugat, yaitu seseorang atau Badan Hukum Perdata yang merasa kepentingannya dirugikan dengan dikeluarkannya Keputusan Tata Usaha Negara (KTUN) oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara, serta Pihak Tergugat, yaitu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan berdasarkan wewenang yang ada padanya atau yang dilimpahkan kepadanya. Dalam Undang Undang Nomor 9 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (Perubahan UU PTUN), pihak ketiga tidak dapat lagi melakukan intervensi dan masuk ke dalam suatu sengketa TUN.
Kekuasaan kehakiman dilingkungan Peradilan Tata Usaha Negara dalam UU PTUN dilaksanakan oleh Pengadilan Tata Usaha Negara dan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara yang berpuncak pada Mahkamah Agung. Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara pada dasamya merupakan pengadilan tingkat banding terhadap sengketa yang telah diputus oleh Pengadilan Tata Usaha Negara, kecuali dalam sengketa kewenangan mengadili antar Pengadilan Tata Usaha Negara di daerah hukumnya serta sengketa yang terhadapnya telah digunakan upaya administratif. Adapun hukum acara yang digunakan pada Peradilan Tata Usaha Negara mempunyai persamaan dengan hukum acara yang digunakan pada Peradilan Umum untuk perkara Perdata, dengan perbedaan dimana Peradilan Tata Usaha Negara Hakim berperan lebih aktif dalam proses persidangan guna memperoleh kebenaran materiil dan tidak seperti dalam kasus gugatan perdata, gugatan TUN bukan berarti menunda dilaksanakannya suatu KTUN yang disengketakan.
1.2    RUMUSAN MASALAH
Bagaimana tata cara bergerkara pada badan peradilan tata usaha Negara?


BAB II
PEMBAHASAN
2.1.TATA CARA BERPERKARA PADA BADAN PERADILAN TATA USAHA NEGARA
2.3.1   PROSEDUR PENERIMAAN GUGATAN DI PTUN
UU PTUN tidak mengatur secara tegas dan terperinci tentang prosedur dan penerimaan Perkara Gugatan di PTUN yang harus ditempuh oleh seseorang atau Badan Hak Perdata yang akan mengajukan /memasukkan gugatan di Pengadilan Tata Usaha Negara, namun pokok-pokok yang dapat diuraikan adalah sebagai berikut:
1      Tempat Mengajukan Gugatan
Gugatan yang telah disusun / dibuat ditandatangani oleh Penggugat atau Kuasanya, kemudian didaftarkan di Panitera Pengadilan Tata Usaha Negara yang berwenang sesuai dengan ketentuan Pasal 54.
-        Ayat (1) Gugatan Sengketa Tata Usaha Negara diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kedudukan Tergugat
-        Ayat (2) Apabila Tergugat lebih dari satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara dan berkedudukan tidak dalam satu faerah Hukum Pengadilan, Gugatan diajukan kepada Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi kedudukan salah satu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara
-        Ayat (3) Dalam hal tempat kedudukan Tergugat tidak berada dalam daerah hukum Pengadilan tempat kediaman Pengugat, maka Gugatan dapat diajukan ke Pengadilan yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat selanjutnya diteruskan kepada Pengadilan yang bersangkutan.
-        Ayat (4) Dalam hal-hal tertentu sesuai dengan sifat sengketa Tata Usaha Negara yang bersangkutan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah, Gugatan dapat diajukan kepada Pengadilan yang berwenang yang daerah hukumnya meliputi tempat kediaman Penggugat
-        Ayat (5) Apabila Penggugat dan Tergugat berkedudukan atau berada di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan di Jakarta.
-        Ayat (6) Apabila Tergugat berkedudukan di dalam negeri dan Penggugat di luar negeri, Gugatan diajukan kepada Pengadilan ditempat kedudukan Tergugat.
2      Administrasi di Pengadilan Tata Usaha Negara
Panitera yang telah menerima Pengajuan Gugatan tersebut kemudian meneliti Gugatan apakah secara formal telah sesuai dengan syarat-syarat sebagaimana ditentukan oleh Pasal 56 UU No.5 tahun 1986, apabila ada kekuranglengkapan dari Gugatan tersebut Panitera dapat menyarankan kepada Penggugat atau Kuasanya untuk melengkapinya dalam waktu yang telah ditentukan paling lambat dalam waktu 30 hari baik terhadap Gugatan yang sudah lengkap ataupun belum lengkap selanjutnya Panitera menaksir biaya panjer ongkos perkara yang harus dibayar oleh Penggugat atau Kuasanya yang diwujudkan dalam bentuk SKUM (Surat Kuasa Untuk Membayar) atau antara lain:
-        Biaya Kepaniteraan
-        Biaya Materai
-        Biaya Saksi
-        Biaya Saksi Ahli
-        Biaya Alih Bahasa
-        Biaya Pemeriksaan Setempat
-        Biaya lain untuk Penebusan Perkara
Gugatan yang telah dilampiri SKUM tersebut kemudian diteruskan ke Sub bagian Kepaniteraan Muda Perkara untuk penyelesaian perkara lebih lanjut.
Atas dasar SKUM tersebut kemudian Penggugat atau kuasanya dapat membayar di kasir (dibagian Kepaniteraan Muda Perkara) dan atas pembayaran tersebut kemudian dikeluarkan, kwitansi pembayarannya. Gugatan yang telah dibayar panjer biaya perkara tersebut kemudian didaftarkan didalam buku register perkara dan mendapat nomor register perkara.
Gugatan yang sudah didaftarkan dan mendapat nomor register tersebut kemudian dilengkapi dengan formulir-formulir yang diperlukan dan Gugatan tersebut diserahkan kembali kepada Panitera dengan buku ekspedisi penyerahan berkas.
Selanjutnya berkas perkara gugatan tersebut oleh Panitera diteruskan / diserahkan kepada Ketua Pengadilan untuk dilakukan Penelitian terhadap Gugatan tersebut, yaitu dalam proses dismissal ataupun apakah ada permohonan penundaan pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat, beracara cepat maupun ber-acara Cuma-Cuma.
2.3.2   PROSES PEMERIKSAAN GUGATAN DI PTUN
Di Pengadilan Tata Usaha Negara suatu gugatan yang masuk terlebih dahulu harus melalui beberapa tahap pemeriksaan sebelum dilaksanakan Pemeriksaan didalam Persidangan yang terbuka untuk umum. Apabila dilihat dari Pejabat yang melaksanakan pemeriksaan ada 3 (tiga) Pejabat yaitu Panitera, Ketua dan Hakim/Majelis Hakim, akan tetapi apabila dilihat dari tahap-tahap materi gugatan yang diperiksa ada 4 tahap pemeriksaan yang harus dilalui:

Tahap I
Adalah Tahap penelitian administrasi dilaksanakan oleh Panitera atau Staf panitera yang ditugaskan oleh Panitera untuk melaksanakan Penilaian administrasi tersebut
Tahap II
Dilaksanakan oleh Ketua Pengadilan Tata Usaha Negara, dan pada tahap ke-II tersebut Ketua memeriksa gugatan tersebut antara lain:
i.      Proses Dismissal: yaitu memeriksa gugatan tersebut apakah gugatannya terkena dismissal. Apabila terkena maka berdasar pasal 62 UU PTUN, artinya gugatan tidak diterima dan Ketua dapat mengeluarkan Penetapan Dismissal. Sedangkan apabila tidak, ternyata gugatan tersebut tidak memenuhi salah satu syarat dismissal, makaperkara tersebut dapat diperiksa dengan acara biasa dan dapat pula ditunjuk Hakim/Majelis Hakim yang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara yang berupa gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
ii.      Ketua dapat juga memeriksa apakah didalam gugatan tersebut ada Permohonan Penundaan Pelaksanaan Keputusan Tata Usaha Negara yang digugat atau tidak dan sekaligus dapat mengeluarkan penetapan.
iii.      Ketua dapat juga memeriksa apakah ada permohonan Pemeriksaan dengan Cuma-Cuma dan mengeluarkan Penetapan
iv.      Ketua dapat juga memeriksa apakah dalam gugatan tersebut ada permohonan untuk diperiksa dengan acara cepat ataukah tidak.
v.      Ketua dapat pula menetapkan bahwa gugatan tersebut diperiksa dengan acara biasa dan sekaligus menunjuk Majelis Hakim yang memeriksanya.
Tahap III
Setelah Majelis Hakim menerima berkas perkara sesuai dengan Penetapan Penunjukan Majelis Hakim yang menyidangkan perkara tersebut yang dikeluarkan oleh Ketua PTUN.
Tahap IV
Setelah dilaksanakan Pemeriksaan Penetapan terhadap gugatan kemudian Majelis menetapkan untuk Pemeriksaan gugatan tersebut didalam persidangan.yang terbuka untuk umum.



2.2.UPAYA HUKUM
2.2.1. PROSEDUR dan TAHAPAN PENYELESAIAN SENGKETA TATA USAHA NEGARA
Sengketa Tata Usaha Negara dikenal dengan dua macam cara antara lain:
I.          Melalui Upaya Administrasi:
1        Definisi
Upaya administratif adalah suatu prosedur yang dapat ditempuh oleh seorang atau badan hukum perdata apabila ia tidak puas terhadap suatu Keputusan Tata Usaha Negara (Penjelasan Pasal 48 ayat (1) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).
2.      Dasar Hukum
Di dalam UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004 diatur dalam Pasal 48, yang berbunyi:
1)   Dalam hal suatu Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara diberi wewenang oleh atau berdasarkan peraturan perundang-undangan untuk menyelesaikan secara administratif sengketa Tata Usaha Negara tertentu, maka batal atau tidak sah, dengan atau tanpa disertai tuntutan ganti rugi dan/administratif yang tersedia.
2)   Pengadilan baru berwenang memeriksa, memutus, dan menyelesaikan sengketa Tata Usaha Negara sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) jika seluruh upaya administratif yang bersangkutan telah digunakan.
3.      Bentuk Upaya Administrasi serta cara penilaian:
Berdasarkan penjelasan Pasal 48 UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, disebutkan adanya dua bentuk upaya administrasi, yaitu:
(1)  Banding administratif
Jika seseorang atau badan hukum perdata tidak puas dengan suatu Keputusan Tata Usaha Negara, maka dapat melakukan upaya administrasi. Prosedur upaya administrasi tersebut harus dilaksanakan di dalam lingkungan pemerintahan sendiri. Dalam hal penyelesaiannya harus dilakukan oleh instansi lain dari yang mengeluarkan Keputusan yang bersangkutan, maka prosedur tersebut dinamakan ”Banding Administrasi”.
Contoh banding administratif antara lain:
-        Keputusan Majelis Pertimbangan Pajak berdasarkan ketentuan-ketentuan dalam staatsblad 1912 Nr 29 (Regeling van het beroep in belastings zaken) jo. Undang-undang Nomor 5 Tahun 1959 tentang perubahan “Regeling van het beroep in belastings zaken”, Keputusan Badan Pertimbangan Kepegawaian berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 30 Tahun 1980 tentang Peraturan Disiplin Pegawai Negeri Sipil.
-        Keputusan Panitia Penyelesaian perselisihan Perburuhan Pusat Berdasarkan Undang-undang Nomor 22 Tahun 1957 tentang penyelesaian Perselisihan Perburuhan dan Undang-undang Nomor 12 Tahun 1964 tentang Pemutusan Hubungan Kerja di Perusahaan Swasta. Keputusan Gubemur berdasarkan pasal10 Ayat (2) Undang-undang Gangguan Staatsblad 1926 No. 226.
(2)   Keberatan
Adalah suatu prosedur penyelesaian Keputusan Tata Usaha Negara yang harus dilakukan sendiri oleh Badan atau Pejabat Tata Usaha Negara yang mengeluarkan Keputusan tersebut.
Contoh:
- Pasal 27 UU No.9/1994 tentang Ketentuan-Ketentuan Umum Perpajakan.
Prosedurnya dilakukan dengan penilaian secara lengkap oleh instansi yang mengurus, Lengkap di sini berarti dinilai dari segi hukum dan dari kebijaksanaan, sedangkan penilaian di Pengadilan hanya dari segi hukum saja.
i.            Cara Untuk Membedakan Suatu Sengketa Harus Diselesaikan Melalui Banding Administratif atau Keberatan
Untuk dapat membedakannya, maka dapat dilihat dari pejabat atau instansi yang berwenang menyelesaikannya. Atas hal ini terbagi atas dua kemungkinan, yaitu:
a.       Banding Administratif, apabila diselesaikan oleh instansi atasan pejabat yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara tersebut atau instansi yang lainnya dari badan atau pejabat tata usaha negara yang mengeluarkan keputusan tata usaha negara.
b.      Keberatan, apabila diselesaikan oleh instansi atau pejabat yang mengeluarkan Keputusan Tata Usaha Negara.
II.       Upaya Hukum Atas Upaya Hukum Administrasi dan Keberatan
Pada Penjelasan Pasal 48 Ayat (2) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004, dinyatakan bahwa:
“Apabila seluruh prosedur dan kesempatan tersebut pada penjelasan ayat (1) telah ditempuh, dan pihak yang bersangkutan masih tetap belum merasa puas, maka barulah persoalannya dapat digugat dan diajukan ke Pengadilan”.
Upaya yang dapat ditempuh tersebut antara lain:
a.            Setelah upaya Banding administratif, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara sebagai Pengadilan Tingkat I/pertama (Pasal 51 ayat (3) UU No. 5/1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No. 9/2004).
b.            Setelah melalui upaya Keberatan, maka dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Tata Usaha Negara.
III.    Sisi Positif dan Negatif Atas Lembaga Upaya Administratif’
-        Sisi positif lembaga upaya administratif adalah:
Menilai lengkap suatu keputusan, baik dari aspek legalitas (rechtmatigheid) maupun aspek opportunitas (doelmatigheid), sehingga para pihak tidak dihadapkan pada hasil keputusan menang atau kalah seperti halnya di Pengadilan, tapi dengan pendekatan musyawarah.
-        Sisi negatif lembaga upaya administratif adalah:
Permasalahan dapat saja terjadi pada tingkat obyektivitas penilaian. Hal ini karena badan Tata Usaha Negara yang menerbitkan surat Keputusan bisa saja terkait kepada kepentingannya secara langsung ataupun tidak langsung kepada Keputusan yang dikeluarkannya tersebut.
Bergesernya kedudukan Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara menjadi instansi pertama terhadap sengketa yang menempuh banding administratif, dapat mengakibatkan:
-        Pencari keadilan akan kehilangan satu tingkatan atau kesempatan memperoleh saluran Peradilan Administrasi;
-        Ada kemungkinan sebagian besar sengketa administrasi akan lebih banyak mengalir ke Pengadilan Tinggi Tata Usaha Negara.
1      Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.9/2004 tentang Peradilan Tata Usaha Negara (UU PTUN);
2      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1970 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.35/1999 dan kemudian dirubah lagi oleh UU No.4 / 2004 tentang Kekuasaan Kehakiman (UU Kekuasaan Kehakiman);
3      Undang-Undang Nomor 14 Tahun 1985 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.5/2004 tentang Mahkamah Agung (UU MA);
4      Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 sebagaimana telah dirubah oleh UU No.8/2004 tentang Peradilan Umum (UU Peradilan Umum);